Harga sawit saat ini terjun bebas dari harga pada Mei lalu. Merosotnya harga ini diduga karena rendahnya harga crude palm oil (CPO) dan kernel.
TANJUNG REDEB - Kepala Dinas Perkebunan Berau Lita Handini yang dikonfirmasi pada Senin (20/6) menjelaskan, periode Mei lalu, harga sawit sebesar Rp 3.354,87 per kilogram. Namun pada Juni ini menjadi Rp 2.818,85 per kilogram.
Kondisi ini terjadi karena adanya persaingan untuk mendapatkan bagian di pasar minyak nabati global. Ia memperkirakan, harga ini kemungkinan akan mengalami kenaikan, jika harga CPO sudah kembali normal.
“Saat ini harga CPO berada di angka Rp 10 ribu sampai Rp 11 ribu. Pasarnya pun terbatas. Sehingga hal itu berimbas pada harga TBS petani,“ ujarnya.
Selain itu, Indonesia yang merupakan produsen terbesar CPO dunia, baru-baru ini telah mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat ekspor CPO dengan menurunkan tarif retribusi maksimum menjadi US$ 200 dari US$ 375 yang akan berlaku hingga 31 Juli.
Namun, akan menaikkan pajak ekspor pengiriman menjadi US$ 288 per ton. Secara keseluruhan, maka produsen harus membayar gabungan tarif retribusi dan pajak menjadi US$ 488/ton, yang lebih rendah ketimbang kebijakan sebelumnya US$ 575/ton.
“Hal tersebut dilakukan untuk mempercepat kegiatan ekspor CPO agar dapat membantu pabrik-pabrik untuk mengosongkan tangki penyimpanan,“ tuturnya.
Sayangnya, harga minyak saingan seperti minyak kedelai dan minyak mentah yang turun akan mengurangi permintaan pada CPO, ditambah produsen utama CPO Indonesia telah mempercepat kebijakan ekspor dan melonggarkan kebijakannya.
Artinya, produsen CPO akan mulai mengekspor CPO lebih banyak dan supply akan bertambah, tapi demand terhadap CPO akan berkurang. “Sehingga hal itu mengurangi permintaan dan harga CPO pun menjadi turun,“ bebernya.
Kendati demikian, kembali ditegaskan Lita, penetapan harga itu tidak ditetapkan secara cuma-cuma. Namun, ada rumusan yang harus diperhitungkan. “Untuk menetapkan harga TBS itu ada rumusannya. Salah satunya harga jual CPO bulan sebelumnya,“ pungkasnya. (hmd/ind)