Pengerukan tanpa Rencana Matang

- Kamis, 11 Juli 2019 | 11:50 WIB

GANG NIBUNG. Rencana pengerukan Sungai Karang Mumus (SKM) segmen Gang Nibung hingga Jembatan Perniagaan seolah hanya rencana. Jika sebelumnya dijadwalkan 8 Juli 2019, namun kembali molor hingga waktu yang belum pasti.

Sapos meninjau lokasi kemarin. Belum ada satu pun alat berat di lokasi. Sedang sisi kiri dan kanan sungai masih dipadati rumah. Lebar sungai menyempit dipastikan menyulitkan untuk kegiatan keruk. Belum lagi lumpur-lumpur belum diketahui harus dibuang ke mana dan bagaimana akses keluar masuk truk pengangkut hasil kerukan.
Kasi Perencanaan Sumber Daya Air Dinas PUPR Kaltim, Ihsan pun belum bisa memastikan waktu pengerukan. Pasalnya, ada banyak perubahan-perubahaan seiring pertemuan yang digelar belum lama ini. Awalnya pengerukan direncanakan 8 Juli 2019, kini berubah.
"Saya belum memberi penjelasan lebih lanjut. Khawatir sudah ada perubahan lain," katanya.
Kendati demikian, ia optimistis pengerukan tetap akan dilakukan di titik-titik yang tanpa pembebasan lahan. Misalnya di Gang Nibung. Di situ, kata dia, bisa lebih dahulu dikeruk tanpa menunggu pembebasan lahan oleh pemerintah kota.
Ditambahkannya, pelaksaan kegiatan pengerukan SKM melibatkan banyak pihak. Sehingga butuh koordinasi dan persiapan matang. "Kita akan mulai duluan di lahan tanpa pembebasan. Kita dikerjakan duluan. Itu untuk kerja tahap awal. PUPR enggak tunggu pemkot," tuturnya.
Setelah itu, baru bergerak menuju titik yang sambil menunggu pembebasan oleh pemkot.
Jika menelisik lebih jauh. Rencana pengerukan SKM muncul secara mendadak pasca banjir besar melumpuhkan sebagian Kota Samarinda.
Melalui Dinas PUPR Kaltim, pemprov dikabarkan menyiapkan dana senilai Rp 10 miliar untuk pengerukan Sungai Karang Mumus (SKM) di segmen Gang Nibung hingga kawasan di belakang Pasar Segiri. Namun hingga kini belum ada eksekusi.
Pemkot juga menerbitkan surat edaran tertanggal Selasa 25 Juni 2019 bernomor 61212/0708/012.04 perihal Normalisasi SKM yang ditandatangani Sekertaris Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin. Isinya, memberitahukan warga yang bertempat tinggal atau pemilik bangunan di Badan Sungai Mati dekat Masjid Babul Hafzah (Sungai Pinang) dan Gang Nibung sampai Jembatan Perniagaan dan sekitaranya agar pindah.
Namun, lagi-lagi tak ada eksekusi. Ada kesan ketidaksiapan pemprov maupun pemkot atau nihil perencanaan. Sekkot Sugeng Chairuddin, mengatakan pemkot menarget hingga akhir Juli ini warga di sekitar bantaran harus pindah. Jika tidak dibongkar.
"Apalagi di kawasan Pasar Segiri itu. Pemkot punya sertifikat jadi warga harus merelakan bongkar," katanya.
Jika ada warga yang memiliki sertifikat maka pemkot akan memberi ganti rugi.
Pengamat Tata Kota Farid Nurahman belum melihat sisi efektivitas jika proyek normalisasi SKM dimulai dengan pengerukan.
Menurut dia, karena belum dikaji apa pengaruh sedimentasi terhadap aliran air. Dan seberapa lama sedimentasi menutup.
"Kalau dikeruk jangka pendek berpengaruh, kalau jangka panjang enggak ada jaminan kecuali diturap. Karena begitu hujan sedimentasi akan naik kembali," katanya.

Ia juga mengkritik rencana relokasi SKM mendadak muncul pasca musibah banjir. Jika, pemkot serius maka selama lima kepemimpinan Jaang, tahap demi tahapan normalisasi SKM harus mengalami perubahan yang signifikan.
Karena, dalam RPJMD banjir memang satu program prioritas masyarakat.
"Sulitnya menormalisasi SKM lambat karena ada pengaruh politik tidak bisa dipungkiri," katanya.
Pengamat Lingkungan Unmul Budi Sulistyo menilai pemkot cenderung sibuk dengan penanganan sisi hilir yakni drainase. Tidak secara komprehensif.
Bahkan, dalam masterplan 2014 pun bersifat review. Hanya melengkapi kekurangan atau menambahkan hal-hal yang dianggap penting dengan mencocokkan masterplan sebelumnya dengan kondisi kekinian.
"Selama ini tidak ada studi yang komprehensif. Bagaimana peta banjir, akar masalah, bagaimana menindaklanjuti, mana yang duluan dikerjakan dan lainnya. Itu yang belum terakomodir," kata Budi.
Dari studi yang tak utuh itu, muncul realitas penanganan pun terfokus kepada sistem drainase. Apalagi perbaikan drainase yang sifatnya kecil alias PL. Cukup satu kali hujan langsung penuh sedimentasi.
Padahal, yang terpenting adalah upaya penanggulanan pada sisi hulu. Misalnya, mengindentifikasi DAS SKM. DAS ini terbagi dalam beberapa sub DAS. Ada di Mugirejo, Pampang, Sungai Siring, Muang dan lainnya.
Dari semua anak sungai atau sub DAS tersebut mana yang berkotribusi besar dalam aliaran air ke SKM. Setelah itu baru dilakukan konservasi tanah. Agar bisa mengurasi debit agar air tak terakumulasi saat hujan. Mendeteksi hambatan-hambatannya dan lainya. Upaya ini, kata Budi belum terlihat.
"Tapi karena masalah banjir sudah kompleks begini maka tentu diikuti juga dengan SKM dan drainase kota. Konsentrasi ke alur yang lintasan airnya besar, bukan di gang-gang kecil," terangnya.
Terkait hal itu, Kabid Pelaksana Jaringan Sumber Air dan Penataan Ruang DPUPR Samarinda, Desy Damayanti membantah. Kata dia, penanganan banjir yang dilakukan sudah pada semua sisi sebagaimana tugas dan daerah penanganan DPUPR Kota Samarinda.
"Untuk daerah hulu SKM (Sungai Siring dan Pampang) memang belum kita tangani karena fungsinya masih maksimal. Untuk Bendung Benanga masih ditangani BWS Wilayah III," katanya. (zak/beb)

Editor: rusli-Admin Sapos

Rekomendasi

Terkini

Safari Ramadan Kukar, Serahkan Manfaat JKM

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:29 WIB
X