e-KTP Pembawa Dilema Pemerintah

- Selasa, 14 Mei 2019 | 01:12 WIB

Nama            : Sandra Kirana Mirella Manjani
Program Studi    : Ilmu Pemerintahan
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

SEJALAN dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi, pemerintah telah menerbitkan UU Pelayanan Publik No.22/2009 sebagai tindak lanjut Kepres No.88/2004 tentang pengelolaan informasi administrasi kependudukan, yang didalamnya diatur tata cara pelayanan administrasi kependudukan.

Peraturan ini diterbitkan guna mengantisipasi masalah tata cara pelayanan pendataan dan pendaftaran penduduk secara teliti dan modern berbasis komputer. Melalui kebijakan sistem informasi kependudukan yang telah diberlakukan secara nasional ini, diharapkan agar dapat mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan pendataan penduduk serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan pada publik seperti pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk secara elektronis (E-KTP) maupun Kartu Keluarga (KK).

Pada awal peluncuran program E-KTP di tahun 2009, pihak Kemendagri (Kementrian Dalam Negri) melalui Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyatakan bahwa pelaksanaan program E-KTP di 479 kabupaten/kota se-Indonesia diharapkan akan selesai pada akhir tahun 2012. Fungsi dari E-KTP yaitu sebagai identitas jati diri yang berlaku secara nasional, sehingga masyarakat tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan, menjadi upaya dalam mencegah adanya KTP ganda dan pemalsuan KTP, serta menciptakan keakuratan data penduduk guna mendukung program pembangunan. Namun, hingga saat ini buktinya program tersebut belum mencapai target.

Saat ini E-KTP masih mengalami permasalahan-permasalahan yang cukup signifikan dan masih belum mendapatkan pencapaian yang dituju, dimana langkah dan strategi pemerintah dinilai kurang berhasil dalam menjalankan kebijakan pelayanan administrasi kependudukan saat ini. Maraknya dugaan korupsi dalam pengadaan E-KTP dan blangko E-KTP yang seringkali tidak ada, semakin menjadi sorotan publik dan membuat pesimis banyak pihak terutama para masyarakat mereka berpikir proyek ini tidak akan selesai dan berhasil terealisaikan dengan baik, dan kurangnya kepahaman masyarakat mengenai bagaimana sebetulnya pengaplikasian E-KTP ini dilaksanakan terhadap masyarakat.

Hal ini membuat masyarakat menjadi malas untuk mengurus E-KTP, tidak hanya satu atau dua faktor saja yang menghambat penyelesaian program ini, kendala lainnya seperti jaringan komunikasi data yang tidak stabil, peralatan perekaman banyak yang rusak dan kurang, serta kurang terealisasikannya program pelaksanaan E-KTP bagi warga/masyarakat yang tinggal di daerah yang jauh/pedalaman membuat pelayanan administrasi pemerintah dinilai kurang optimal.

Kurang optimalnya persiapan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan E-KTP inilah yang membuat semakin rumit penyelesaian program E-KTP. Kemendagri Hadi Prabowo mengungkapkan bahwa “Target yang dicapai hingga kini sudah mencapai 97,21 sehingga sekarang ada sekitar 5,38 juta penduduk Indonesia belum mengikuti perekaman kartu tanda penduduk berbasis komputer (E-KTP)”. Tentu hal ini sangatlah lama dari yang di targetkan 2012 hingga kini menginjak 2019 sudah hampir 7 tahun E-KTP ini melewati batas targetnya.

Permasalahan yang tidak ada habisnya ini, tentu mejadi dilema bagi pemerintah karena, kasus permasalahan ini membawa dampak besar bagi dunia perpolitikan dan berpotensi mengurangi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Dampak politik terhadap pemerintah ini sendiri bisa lebih mengkhawatirkan, dimana jika terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadaan E-KTP ini, maka dapat menyebabkan progam E-KTP ini sendiri ikut berhenti.

Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan E-KTP ini juga semakin berpotensi yang sebagaimana disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo yang secara fakta memang telah terbukti bahwa dalam penyelesaian proyek E-KTP sudah melenceng jauh dari target waktunya, bahkan tidak ada pihak yang tahu kapan proyek E-KTP ini akan selesai.

Selain itu dampak politik yang paling serius di dalam masalah ini yaitu saat pelaksanaan pemilu dan pilkada. Karena jika ada keterhambatan dalam masyarakat dalam memiliki E-KTP, maka sudah dipastikan hak pilih mereka bisa tidak tersalurkan dalam proses pemberian suara pilkada ataupun pemilu.

Bila banyak masyarakat yang hak pilihnya tidak tersalurkan dalam jumlah yang besar, maka ini akan membawa dampak yang serius bagi keterwakilan pemimpin politik, karena kurang terakomodasinya suara secara maksimal dan dapat menurunkan rasa partisipasi masyarakat terhadap pengambilan/pembuatan keputusan secara demokratis.

Dan secara konvensional, suatu negara dapat dikatakan/disebut demokratis apabila pemerintahannya terbentuk atas kehendak rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan umum yang kompetitif untuk memilih para pemimpin dan pejabat politik sebagai perwakilan dari rakyat terhadap negara, maka dengan segala upaya pemerintah harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan rencana proyek E-KTP ini untuk menjamin tetap terlaksanaya kehidupan bernegara secara demokratis.

Pada dasarnya permasalahan ini bisa diatasi dan dihindari sejak awal pengadaan proyek jika, pemerintah lebih memperhatikan rekomendasi KPK dalam pengadaan E-KTP ini sayangnya pemerintah menolak adanya rekomendasi ini. Rekomendasi yang diajukan saat itu terkait dengan hal-hal berikut yaitu: penyempurnaan grand desain, menyempurnakan aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan(SIAK) dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan migrasi non-SIAK ke SIAK, memastikan terdukungnya jaringan komunikasi data online/semi-online antara kabupaten/kota dan Mobile Data Collection (MCD) di pusat agar proses konsolidasi dapat dilakukan secara efisien, melakukan pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media untuk menghasilkan NIK, melaksanakan E-KTP setelah database kependudukan bersih/NIK tunggal, pengadaan E-KTP harus dilakukan secara elektronik dan hendaknya dikawal ketat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Jika saja hal tersebut disetujui dan diterapkan pemerintah, maka potensi masalah yang akan terjadi pada pengadaan E-KTP ini bisa saja diminimalisasi. Tidak hanya itu pemerintah perlu melakukan penerapan dan mengedepankan good governance di dalam penyelenggaraan proyek ini dimana pemerintah harus membangun kepercayaan masyarakat terhadap berhasilnya pelaksanaan penerapan E-KTP, membangun manajemen penyelesaian penyelenggaraan E-KTP, menerapkan good governance dalam pelayanan publik secara baik, serta perlunya meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Kemendagri perlu serius dalam menyelesaikan permasalahan E-KTP yang sudah muncul sejak awal peluncurannya, karena fungsi dari E-KTP yang sangat penting sebagai basis data kependudukan rakyat Indonesia. (adv)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Bendungan Marangkayu Sudah Lama Dinanti Warga

Jumat, 29 Maret 2024 | 16:45 WIB
X