Belum “Move On” dari Batu Bara

- Kamis, 7 Februari 2019 | 11:09 WIB

SAMARINDA. Ketergantungan Bumi Etam dari sektor pertambangan batu bara belum bisa tergantikan. Bahkan, emas hitam masih memberi kontribusi besar bagi perekonomian Kaltim. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim triwulan IV 2018, ekonomi Kaltim  tumbuh 5,14 persen. Lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya 4,16 persen.

Jika diakumulasikan, pertumbuhan ekonomi Kaltim selama 2018 adalah 2,67 persen. Kepala BPS Kaltim, Atqo Mardianto pun membeber bidang yang berkontribusi besar meningkatkan ekonomi berdasarkan lapangan usaha dilihat dari Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB). Di antaranya pertambangan dan pengggalian (7,91 persen), pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang (3,97 persen) serta konstruksi (2,57 persen).

“Dari struktur pendapatan domestik bruto (PDB), kontribusi pertambangan adalah 46,35 persen. Selebihnya justru di bawah 20 persen seperti disusul industri dengan 18,27 persen,” bebernya. “Sektor ini masih dominan sehingga pertumbuhan ekonomi Kaltim bisa mencapai 2,67 persen,” sambungnya.
Sedangkan untuk pengeluaran, kontribusi terbesar adalah ekspor. Memang lanjutnya ekspor ke luar negeri alami negatif atau penurunan sebesar -1,39 persen. Namun, di sisi lain ekspor atau perdagangan antar pulau justru lebih aktif, dengan nilai pertumbuhan sekitar 16,65
persen. “Itu yang mendorong Kaltim dari sisi pengeluaran,” bebernya lagi.

Selain itu lembaga non profit juga turut menyumbang tingkat pengeluaran utamanya yang melayani rumah tangga. Lembaga non profit (LNP) sendiri mengalami pertumbuhan sekitar 106 persen pada triwulan  IV 2018. Tapi untuk triwulan I 2019, pihaknya memprediksi akan
terjadi penurunan sedikit menjadi sekitar 104 persen. “Ada perkiraan terjadi penurunan sedikit. Pemicunya adalah konsumen di Kaltim belum mengonsumsi barang-barang tahan lama,” beber Atqo.

Barang tahan lama yang dimaksud adalah rekreasi, investasi, dan lainnya.Bisa jadi lantut Atqo karena harga tiket pesawat masih mahal meski Bandara APT Pranoto sudah beroperasi. Termasuk pula penerapan bagasi berbayar yang membuat masyarakat harus merogoh kocek tambahan. “Sehingga belum ada yang mau rekreasi. Itu salah satu indikasinya,” tambah Atqo. Pihaknya pun menambahkan untuk triwulan ke II 2019 akan diketahui setelah penghitungan di triwulan I 2019. “Itu yang kami tanyakan ke konsumen, bagaimana nanti di triwulan II,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Bank Indonesia Perwakilan (BI Pwk) Kaltim, Muhamad Nur memprediksi ekonomi tahun ini tumbuh karena harga batu bara mulai naik. Pihaknya memprediksi pertumbuhan ekonomi tersebut berada dalam rentang 1,98 persen hingga 2,38 persen (year on
year). Prediksi ini lanjut dia lebih tinggi dibandingkan 2018 lalu. Tapi lanjut Nur masih ada sektor lain yang berpotensi alami penurunan. Di antaranya industri pengolahan gas. “Ini dikarenakan turunnya pasokan gas mentah secara alami (natural declining) di blok-blok penghasil gas utama. Kemudian ada pula maintenance di blok migas lainnya,” terang Nur.

Tak cuma itu, sektor konstruksi juga sempat alami perlambatan pada akhir 2018 lalu lantaran harus menunggu kucuran dana APBD. Akan tetapi hal itu tidak berdampak banyak pada bidang usaha pertambangan. Kontraksi atau gejolak di bidang emas hitam ini justru terbilang rendah. Malahan tahun ini pihaknya memprediksi terjadi trend positif jual beli batu bara.  “Tren positif peningkatan harga batu bara juga cuaca yang mendukung produksi menjadi faktor utama perbaikan kinerja lapangan usaha ini,” tambahnya. (cyn/beb)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X